Pakar keamanan pangan UGM, Prof. Dr. Ir. Endang Sutriswati Rahayu meraih penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara 2015 pada kategori peneliti dalam bidang pelayanan ketahanan pangan. Penghargaan diberikan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, pada hari Senin, 21 Desember 2015.
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM ini terpilih menerima penghargaan karena ketekunannya meneliti keamanan pangan lokal. Selain itu, ia juga giat mengedukasi serta membina masyarakat, UMKM, dan petani untuk memperhatikan keamanan produk pertanian yang dihasilkan agar terhindar dari cemaran toksin yang membahayakan kesehatan.
Trisye, sapaan akrabnya, mengaku bangga atas penghargaan yang diraihnya itu. Ketekunannya meneliti mikrobiologi pangan produk pertanian berbasis biji-bijian seperti jagung, kacang tanah, kakao, serta kopi dapat memberikan kontribusi bagi keamanan pangan bangsa. Persoalan keamanan pangan merupakan isu penting yang seharusnya menjadi perhatian banyak pihak. Keamanan pangan menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan pangan dan masih menjadi ancaman serius tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga dalam skala global.
“Di Indonesia masih banyak kasus keracunan makanan ataupun penyakit karena bahan pangan yang tidak aman akibat tercemar bakteri, toksin, maupun mengandung bahan kimia yang membahayakan kesehatan ,” terangnya, Rabu (23/12) saat ditemu di ruang kerjanya di FTP UGM.
Menurutnya, salah satu isu yang harus segera ditangani adalah untuk menekan cemaran bakteri maupun toksin dalam produk pangan di UMKM. Pasalnya, selama ini tidak sedikit produk pangan yang dihasilkan oleh UMKM yang masih tercemar karena tidak melakukan penanganan produk pangan dengan baik dan benar terutama pada tahap pasca panen dan distribusi. Hal itu dikarenakan dalam penanganan produk pangan belum memanfaatkan teknologi dan juga SDM yang terdidik.
“Banyak ditemukan cemaran toksin dari jamur baik berupa aflatoksin, ochratoxin, fumonisin dalam beberapa produk pangan UMKM yang melebihi ambang batas maksimum. Cemaran toksin tersebut berpotensi merangsang munculnya kanker di masa mendatang. Disamping itu juga menjadikan produk-produk pertanian lokal tidak memiliki daya saing di pasar global,” papar Kaprodi Program Doktor Ilmu Pangan FTP UGM ini.
Karenanya, upaya pencegahan munculnya toksin pasca panen dan distribusi perlu segera dilakukan. Langkah tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran petani akan bahaya cemaran toksin pada produk pertanian mereka. Demikian halnya dengan para pelaku usaha untuk lebih memperhatikan standar keamanan produk pangan agar produk yang dihasilkan aman serta tidak berbahaya untuk kesehatan manusia.
“Pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi petani maupun kelompok usaha kecil menengah agar bisa menghasilkan produk pangan yang aman untuk dikonsumsi,” tandas Trisye yang aktif dalam Jejaring kemanan Pangan Nasional dan menjadi anggota Panel Pakar untuk Mikotoksin Indonesian Risk Assasement Center (INARAC) ini.
Langkah lainnya dengan memberikan bantuan penyediaan fasilitas gudang penyimpanan sesuai standar. Berikutnya, menyediakan mesin pengering produk pertanian.
“Dengan adanya penanganan pasca panen yang benar diharapkan produk pertanian bisa bebas dari cemaran toksin sehingga bisa diterima di pasar internasional,” harapnya.
Bangun Kesadaran Keamanan Pangan
Merasa prihatin akan fenomena tersebut, wanita yang saat ini tergabung dalam Tim Teknis Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika bidang Keamanan Pangan Nasional ini berupaya membangun kepedulian akan kemanan pangan terutama terhadap cemaran aflatoksin. Ia pun menginisasi terbentuknya Aflatoksi Forum Indonesia (AFI). Melalui forum ini para peneliti, akademisi, pemerintah, serta praktisi bersama-sama membahas dan menyusun program untuk meningkatkan kepedulian terhadap cemaran aflatoksin dan sosialisasi pengendalian cemaran toksin untuk mendukung program ketahanan pangan nasional.
Trisye juga berpartisipasi aktif dalam penyiapan dan sosialisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai batasan maksimal kandungan mikotoksin dalam pangan. Disamping itu juga aktif menjadi pembicara dalam berbagi forum baik di tingkat nasional maupun internasional untuk berbagi pengalaman terkait hasil penelitian aflatoksin, peningkatan kepedulian dan penanganan masalah alfatoksin pada rantai suplai makanan.
Selama 24 tahun terakhir Trisye memang mendalami kajian tentang mikrobiologi pangan. Tepatnya, sejak tahun 1991 silam, selepas menempuh pendidikan doktor di The University of Tokyo, Jepang dia mulai melakukan penelitian terhadap berbagai jenis jamur dalam produk pangan bersama mitra dari dalam dan luar negeri. Dari penelitian itu diketahui masih banyak produk pangan yang terkontaminasi toksin dari berbagai macam jamur. Berikutnya pada tahun 1993, ia melakukan penelitian pada petani jagung di Provinsi Jawa Timur. Hasilnya pun memperlihatkan bahwa banyak jagung yang tercemar aflatoksin. Oleh karena itu, ia bersama tim berupaya melakukan pengendalian aflatoksin pada jagung dan produk berbasis jagung di provinsi tersebut.
Tidak berhenti disitu, tahun 2008 lalu Trisye melakukan pemberdayaan petani dan masyarakat untuk menghasilkan kacang tanah yang rendah aflatoksin di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Selain itu, ia juga mendirikan sekolah lapangan produksi kacang tanah di Kabupaten Pati serta memberikan program pendampingan dalam pengeringan jagung menggunakan SILO bekerjasama dengan Dinas Pertanian DIY dan Kabupaten Sragen.
“Dari penelitian kami pada 2013 lalu di DIY masih ditemukan adanya cemaran toksin berupa ochratoxin pada kopi, kakao, dan ketela serta fumonisin pada jagung di Temanggung,” tuturnya.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa sampai saat ini masih banyak produk pangan yang tidak aman karena penanganan pasca panen yang belum benar. Untuk itu ia menekankan peningkatan kesadaran bahaya cemaran toksin ini pada petani serta diharapkan akan diikuti dengan praktik yang baik dari semua lini, mulai dari pertanian hingga siap disantap di meja makan. (Humas UGM/Ika)